November 30, 2008

BUDAYA & RELIGI

Pada setiap malam Satu Suro (Muharram), area Pesarean Gunung Kawi
dikunjungi oleh ribuan orang peziarah dari berbagai kota dan daerah
telah berdatangan sejak sore hari. Mereka memenuhi penginapan-
penginapan yang memang banyak terdapat di daerah sekitar pesarean
(makam). Sambil beristirahat, mereka menunggu saat datangnya tengah
malam di mana berbagai upacara ritual akan diselenggarakan. Para
pedagang bunga, kemenyan, lilin, hio (dupa) dan perlengkapan sesaji
lainnya sibuk melayani para peziarah. Sementara itu beberapa ibu-ibu
menggoreng ratusan ekor ayam utuh yang dipesan para peziarah untuk
upacara sesaji malam harinya.

Seiring dengan itu pada keesokan harinya diadakan kirab sesaji dan
pembakaran patung simbol sangkala (Bathara Kala). Bencana yang terus
menerus melanda bumi Indonesia membuat masyarakat prihatin. Sikap
prihatin inipun diungkapkan dalam prosesi kirab sesaji di pesarean
Eyang Jugo dan Eyang Sujo melalui upacara pembakaran patung sangkala
atau ogoh-ogoh. Patung sangkala atau ogoh-ogoh, dikenal sebagai
simbol keangkaramurkaan dan malapetaka. Dengan dibakarnya patung ini,
diharapkan sifat keangkaramurkaan dan malapetaka bisa lenyap dari
bumi pertiwi. Prosesi kirab ini diikuti oleh seluruh elemen
masyarakat Wonosari, diawali dengan kirab sesaji dari lapangan desa
setempat kemudian diarak berjalan menuju ke pesarean. Di akhir
prosesi, patung sangkala dibakar oleh Kepala Desa Wonosari, sementara
pengusung patung, yang memakai pakaian serba hitam, menari-nari
layaknya kesetanan.

Melihat potret suasana tersebut, Pesarean Gunung Kawi lebih mirip
pasar raya dari pada sebuah kompleks pemakaman. Pertunjukan wayang
kulit, musik dangdut, serta barongsai pun ikut meramaikan suasana.
Kesan seram, angker, dan tempat mencari kekayaan yang seperti yang
dibayangkan, pada saat itu seolah tenggelam oleh hingar-bingar para
pengunjung.

Ketika zaman berubah, motif spiritual juga terus bergeser. Dengan
dalih estetika, nampaknya pihak pemerintah daerah setempat merasa
perubahan `tampilan' upacara ritual sudah merupakan kebutuhan. Dengan
diciptakannya upacara ritual yang semakin meriah. Banyak yang
bernilai jual di sana-sini. Fungsi latennya sudah bisa ditebak, yaitu
agar upacara ritual bisa lebih enak ditonton, berselera pasar, dan
selanjutnya bisa mendongkrak pendapatan daerah (marketable). Tak
peduli apakah kreasi ini meninggalkan sisi nilai-nilai ritual atau
mengabaikan makna bagi komunitas pemiliknya. Kondisi semacam ini
menurut Theodore Adorno dan Horkheimer bisa disebut sebagai
komodifikasi budaya (Agger, 2006: 179). Kedua tokoh aliran sosiologi
kritis asal Jerman ini melihat bahwa budaya di era kapital serta
industrialisasi ini telah menjelma sebagai sebuah komoditas. Artinya,
suatu fenomena budaya akan diproduksi terus menerus dan dimodifikasi
untuk memperoleh keuntungan.

Tidak ada komentar: